Beranda | Artikel
Ulumul Hadits : Hadits Ahad (2)
Rabu, 3 Agustus 2016

Telah kita sebut hadits mutawatir dengan syarat syaratnya. Bila salah satu dari syarat mutawatir tidak terpenuhi maka disebut Hadits Ahad atau hadits ahad adalah hadits yang jumlah perawinya terbatas dengan jumlah tertentu.

Hadits ahad di bagi oleh para ulama hadits menjadi tiga macam: Masyhur,Aziz, dan Ghorib.

<<Artikel Sebelumnya

Hadits Aziz

Secara bahasa ‘Aziz (العزيز) merupakan shifah musyabbahah dari ‘azza-ya’izzu yang artinya sedikit dan jarang. Dikatakan demikian karena hadits ‘aziz memang sangat sedikit dan jarang. Bisa juga berasal dari ‘azza-ya’azzu yang artinya kuat. Hal ini karena hadits ‘aziz dianggap kuat, karena ia memiliki jalan periwayatan lain.

Adapun secara istilah adalah:

رواته عن اثنين في جميع طبقات السند

Hadits yang jumlah periwayatnya minimal dua orang di setiap tingkatan sanad.

Penjelasan:

Maksudnya adalah, di masing-masing tingkatan (thabaqat) sanad tidak boleh kurang dari dua orang perawi. Jika di sebagian thabaqatnya dijumpai tiga orang atau lebih rawi, hal ini tidak merusak (statusnya sebagai) hadits ‘aziz, asalkan di dalam thabaqat lainnya –meskipun hanya satu thabaqat- terdapat dua orang rawi. Sebab yang dijadikan patokan adalah jumlah minimal rawi di dalam thabaqat sanad.

Ini adalah definisi yang paling kuat seperti yang ditetapkan oleh Al-Hafidh Ibnu Hajar.

Contohnya adalah hadits:

لا يؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من والده، وولده، والناس

Artinya: “Tidak beriman salah seorang di antara kalian, hingga aku lebih dicintainya dari orangtuanya, anaknya dan seluruh manusia.”

Takhrij Hadits:

Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari [15] dan Muslim [44] dari Anas ibn Malik [Islamic phrases=”Radhiyallahu ‘anhu”]I[/Islamic] Diriwayatkan juga oleh al-Bukhari [14] dengan redaksi agak berbeda dari Abu Hurairah. Dari Anas hadits ini diriwayatkan oleh Qatadah dan ‘Abdul ‘Aziz ibn Shuhaib. Dari Qatadah hadits ini diriwayatkan oleh Syu’bah dan Sa’id. Dari ‘Abdul ‘Aziz hadits ini diriwayatkan oleh Ismail ibn ‘Ulayyah dan ‘Abdul Warits. Dan dari masing-masing jalur ini diriwayatkan oleh sekelompok ulama.

Para ulama tidak menyusun secara tersendiri kitab tertentu untuk hadits-hadits ‘aziz. Tampaknya hal itu disebabkan sedikitnya hadits aziz. Wallahu a’lam

Hadits Gharib

Secara istilah adalah suatu hadits yang perawinya menyendiri dalam meriwayatkan hadits.

Maksudnya adalah hadits yang seorang perawinya menyendiri dalam meriwayatkan hadits, baik dalam seluruh thabaqat (tingkatan) sanad, atau dalam sebagian thabaqat, sekalipun pada satu thabaqat. Dan tidak berpengaruh jumlah perawi yang banyak dalam thabaqat yang lain, karena yang dijadikan acuan dan standard adalah thabaqat yang paling sedikit jumlah perawinya.

Ulama memberikan nama lain bagi hadits gharib, yaitu hadits Fard, dan mereka menganggap keduanya adalah sinonim, namun sebagian ulama yang lain membedakan antara kedua nama tersebut, dan mereka menjadikan keduanya berbeda. Hanya saja al-Hafizh Ibnu Hajar [Islamic phrases=”Rahimahullah”]V[/Islamic] menganggap keduanya sinonim (dua kata yang maknanya sama) baik dari sisi bahasa maupun istilah, akan tetapi beliau berkata: ”Sesungguhnya ulama ahli istilah (ahli dalam memberikan definisi) membedakan antara keduanya dari sisi banyak dan sedikitnya pemakaian. Maka mereka memberikan nama hadits Fard untuk hadits al-Fard al-Muthlaq dan hadits Gharib untuk al-Fard an-Nisbi. Ini dalam pemakaian isim (kata benda) nya. Adapun dalam pemakaian fi’il (kata kerja, maka mereka tidak membedakannya.” (AnNukat ala Nuzhatun Nazhar hal 81)

Macam macam hadits gharib

Dilihat dari posisi menyendirinya, hadits gharib dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Gharib Mutlaq atau Fard Mutlaq

Yaitu hadits yang rawi menyendirinya terletak di asal sanad, yaitu dari kalangan shahabat.

Contohnya:

إنما الأعمال بالنيات…

Artinya: “Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya…”

Takhrij Hadits: Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari [1] dan Muslim [1907]. ‘Umar ibn al-Khaththab [Islamic phrases=”Radhiyallahu ‘anhu”]I[/Islamic] menyendiri dalam periwayatan hadits ini.

2. Gharib Nisbi atau Fard Nisbi

Yaitu hadits yang rawi menyendirinya terletak di tengah-tengah sanad, sedangkan di awal sanadnya terdapat lebih dari satu orang rawi.

Contohnya:

Hadits yang diriwayatkan oleh Malik dari az-Zuhri, dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah [Islamic phrases=”Shallallahu ‘alaihi wa Sallam”]H[/Islamic] memasuki Makkah dan di atas kepalanya ada mighfar (sejenis penutup kepala). Malik menyendiri meriwayatkan hadits ini dari az-Zuhri.

Hadits ini dikeluarkan oleh al-Bukhari [4286, 5808] dan Muslim [1357].

Macam-Macam Gharib Nisbi Ditinjau dari Menyendirinya Suatu Hal Tertentu:

(1) Menyendirinya seorang yang tsiqah dalam periwayatan hadits. Misalnya dikatakan: “Tidak ada seorang tsiqah pun yang meriwayatkannya, kecuali fulan”.

(2) Menyendirinya seorang rawi tertentu dari rawi tertentu. Misalnya dikatakan: “Fulan A menyendiri dalam meriwayatkan hadits ini dari Fulan B”. Walaupun ada jalur lain yang juga meriwayatkan hadits ini.

(3) Menyendirinya penduduk negeri tertentu dalam periwayatan hadits. Misalnya dikatakan: “Penduduk Makkah menyendiri dalam meriwayatkannya”.

(4) Menyendirinya penduduk negeri tertentu dari penduduk negeri tertentu lainnya. Misalnya dikatakan: “Penduduk Bashrah menyendiri meriwayatkan hadits ini dari penduduk Madinah”.

Hukum hadits ahad

Setelah kita mengenal hadits ahad, maka ketahuilah bahwa semua ulama bersepakat wajibnya menerima hadits ahad baik dalam hukum maupun dalam aqidah bahkan dalam semua sisi agama.

Al-Imam Asy Syafi’i berkata dalam kitab beliau Ar Risalah, “Apabila satu orang boleh berbicara dalam suatu cabang ilmu tertentu, bahwa kaum muslimin yang lalu maupun yang sekarang telah bersepakat atas validnya berargumen dengan hadits ahad dan mencukupkan diri dengannya. Dan tidak diketahui seorang pun fuqaha’ dari kaum muslimin kecuali mereka menetapkan validitas argumen dengan hadits ahad.” Maka boleh juga untukku menetapkannya Akan tetapi aku berkata, “Aku tidak hafal adanya seorang pun fuqaha kaum muslimin yang berselisih dalam masalah penetapan khabar ahad.”

Maksudnya beliau tidak mengetahui adanya perselisihan. Beliau tidak menyatakan dengan tegas adanya ijma sebagai bentuk kehati hatian dan waro’. Tetapi adanya ijma wajibnya menerima kabar ahad telah dinyatakan oleh banyak ulama.

Al-Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyyah berkata, “Adapun tingkatan yang kedelapan: Meyakini telah bersepakatnya umat atas hal-hal yang telah diketahui dan diyakini, yaitu dengan menerima hadits-hadits dan menetapkan sifat-sifat Rabb Ta’ala dengannya. Dalam hal ini tidak boleh meragukan suatu khabar yang sedikit penukilnya, yaitu dari kalangan shahabat radhiyallahu ‘anhum. Merekalah yang meriwayatkan hadits-hadits dan sebagian mereka saling bertemu satu sama lain dan saling menerima kabar tersebut, dan tidak ada satupun dari mereka yang mengingkari riwayat (ahad) tersebut. Kemudian bertemulah mereka dengan segenap tabi’in, dari awal sampai akhir’” (Mukhtashar As Shawa’iq Al Mursalah).

Al-Imam Ibn Abdil Barr berkata mengenai khabar ahad dan sikap para ulama terhadapnya, ‘Seluruh ulama berpegang dengan khabar ahad yang ‘adl dalam masalah aqidah, mereka menetapkan loyalitas dan permusuhan dengan khabar ahad, meyakininya sebagai sumber dalam syariat dan agama, dan seluruh ahlus sunnah bersepakat dalam hal ini –selesai kutipan dari kitab At Tamhid 1/8.

————————————————–
Rujukan:

1. Taysir Mushthalah al-Hadits karya Mahmud ath-Thahhan

<<Mengenal Hadits Ahad (1)

Lihat Semua Artikel “Hadits”


Artikel asli: https://cintasunnah.com/mengenal-hadits-ahad-2/